Soal RUU EBET ini saya melihat Pemerintah hanya sekedar gimik saja. Bahkan cenderung melakukan pendekatan proyek, ketimbang pendekatan struktural, seperti misalnya proyek mobil listrik untuk pejabat. Seharusnya Pemerintah lebih serius lagi dengan pendekatan struktural, termasuk menyiapkan basis infrastruktur dan regulasinya.
Dari sistem yang terintegrasi (bundling) dari produksi, transmisi dan distribusi dengan power wheeling ini menjadi semakin terpecah-pecah (unbundling) dan sebagian diserahkan ke pihak swasta.
Presiden jangan keseringan langgar undang-undang. Ini bisa jadi preseden yang tidak baik, seolah membenarkan adagium yang bilang undang-undang dibuat untuk dilanggar. Bukan untuk ditaati dan dilaksanakan secara konsisten.
Bagaimana DPR mau membahas revisi UU Migas ini kalau Presiden tidak juga mengirimkan DIM. Karena pembahasan RUU itu kan harus mengacu kepada DIM.
Padahal menurut ketentuan Undang-Undang paling lambat 60 hari sesudah DPR RI mengirim surat maka Presiden wajib mengirimkan surat presiden yang disertai DIM kepada DPR RI. Dengan surpres dan DIM itu maka RUU akan dibahas bersama Pemerintah dan DPR. Sekarang sudah lebih dari 60 hari surat itu dikirim. Tapi Presiden belum mengirimkan DIM juga. Terus apa yang mau dibahas?
Surat Presiden sendiri dikirim 21 September 2022 namun tanpa DIM. Karena itu Mulyanto meminta kepada Pemerintah dan Pimpinan Komisi VII untuk memitigasi risiko RUU EBET, yang akan dibahas. Tujuannya agar tidak cacat hukum dan dibatalkan MK bila kelak sudah diketok. Atau setidaknya tidak diajukan judicial review oleh masyarakat.
KEN disusun pada tahun 2014 untuk interval waktu tahun 2014-2050. Kebijakan utama dalam dokumen KEN ini adalah terkait soal ketersediaan, arah dan prioritas pengembangan energi nasional.
Fraksi PKS sepakat dan sejalan dengan aspirasi yang disampaikan teman-teman Serikat Pekerja (SP) PLN terkait penolakan skema power wheeling. Fraksi PKS melihat ketentuan ini sangat berbahaya bagi tata kelola kelistrikan nasional. Karena itu dengan tegas Fraksi PKS menolak usulan tersebut.
Prioritaskan keperluan domestik lebih dulu. Ini kan lucu, belum apa-apa sudah akan ekspor. Kenapa ngebet ekspor? Ini kan terkesan menjadi sekedar berorientasi bisnis dan tidak tepat bagi ketahanan energi nasional. Kecuali kita sudah surplus listrik EBET.